BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Gangguan depresi
dapat merupakan gangguan emosional yang sering dihubungkan dengan penyakit serebrovaskuler. Sekitar 25-50% pasien
stroke mengalami depresi setelah serangan stroke. Banyak penelitian mengatakan
bahwa pada pasien pasca stroke yang mengalami depresi, akan terjadi peningkatan
persentase mortalitas. Pada pasien yang lebih muda dan tidak mempunyai penyakit
kronis sebelumnya, angka kematian tetap tinggi pada pasien depresi
pasca-stroke.
Beberapa
penelitian mengatakan bahwa lokasi jejas pada otak memegang peranan penting
terhadap terjadinya depresi pasca-stroke. Penelitian melaporkan sebuah hasil
yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak dengan kejadian depresi pasca
stroke pada lesi di hemisfer kiri. Depresi pasca stroke juga dapat terjadi
sebagai hasil ketidakmampuan pasien melakukan kegiatan sehari-hari. Kondisi ini
membuat pasien secara fisik dan mental tidak berdaya dan dapat mengarah ke
perasaan tidak kompeten dan tertekan. Tatalaksana depresi pasca-stroke
merupakan kombinasi psikofarmakoterapi
dan psikoterapi.
Perasaan murung
adalah biasa, terapi perasaan ini akan hilang dengan berjalannya waktu. Akan
tetpai harus dibedakan antara keadaan murung dan depresi. Depresi bisa muncul
dalam berbagai cara dan mempunyai sejumlah penyebab,tidak memedulikan jenis
kelamin dan pekerjaan dan bisa menyerang kapanpun dari remaja sampai paruh
baya. Usia paruh baya adalah usia puncak dari depresi. Bentuk depresi berbeda
tiap individu. Gambaran seperti kecemasan,gelisah dan berbicara gugup atau bisa
beralih menjadi periode mania – mood bicara banyak dan tak terputus-putus,
serta aktivitas kompulsif yang dinamakan pasien “manic depresif”. Ada juga yang
bersifat apatis dan cenderung
menutupi kekhawatirannya. Penderita sering mengeluh tidak mampu berfikir dengan
jelas, sulit berkonsentrasi,atau membuat keputusan.
Penyakit serebrovaskuler atau stroke masih
merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan kecacatan dan kematian di
dunia. Penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga di dunia. Di Amerika,
stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan merupakan penyebab kematian yang
umum pada orang dewasa. Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) 1995, stroke juga merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama 1-5 Laki-laki disebutkan mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terkena
stroke dengan perbandingan 1,33:1, tujuh puluh persen dari pasien yang selamat
akibat stroke mempunyai disabilitas pekerjaan yang permanen dan sekitar 25%
mengalami demensia vaskular.
Stroke yang
disebut juga gangguan perdarahan pembuluh darah otak adalah sindrom gangguan serebri yang bersifat fokal akibat gangguan sirkulasi otak.
Gangguan tersebut akibat penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding
pembuluh darah otak, perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah, dan
perubahan viskositas maupun kualitas
darah sendiri. Proses ini dapat tidak menimbulkan gejala dan akan muncul secara
klinis jika aliran darah ke otak turun sampai tingkat melampaui batas toleransi
jaringan otak yang disebut ambang aktivitas fungsi otak.
1.2
Tujuan Penulisan
1.2.1
Tujuan Umum :
Untuk mengetahui hubungan antara depresi dengan
kelainan otak pada penderita pasca stroke
1.2.1
Tujuan Khusus :
1.2.1.1
Menganalisa kontribusi hubungan depresi dengan kelainan otak terhadap penderita pasca-stroke
1.2.1.2 Menganalisa kontribusi depresi
terhadap penderita pasca-stroke
1.2.1.3 Menganalisa kontribusi kelainan
otak terhadap penderita pasca-stroke
1.2.1.5 Menganalisa kontribusi frekuensi depresi pada penderita pasca-stroke
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DEPRESI
Depresi adalah
suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek
depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas. Disamping itu gejala
lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, pikiran bersalah dan tidak
berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang.
Gangguan
neurologis yang sering diikuti depresi adalah multiple sclerosis, demensia
Alzheimer, penyakit Parkinson, stroke, dan epilepsi. Lokasi paling sering dari
stroke untuk munculnya depresi adalah lesi pada lobus frontal kiri.
2.2
STROKE
Stroke atau
disebut juga cerebrovascular disease (CVD) adalah simtom gangguan serebri yang
bersifat fokal akibat gangguan sirkulasi otak. Gangguan sirkulasi otak tersebut
dapat disebabkan oleh hipoperfusi ekstrakranial, trombosis, perdarahan intrakranial, emboli, hipertensi,
arterosklerosis, anoksia, dan gangguan darah seperti polisitemia.
World Health
Organization (WHO) mendefinisikan stroke sebagai suatu kumpulan gejala klinis
yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak, baik sebagian ataupun menyeluruh,
secara tiba – tiba disebabkan oleh gangguan pembuluh darah. Stroke terjadi
ketika aliran suplai darah untuk otak tiba - tiba terganggu atau ketika
pembuluh darah di otak menjadi pecah, sehingga darah tumpah disekitar sel pada
otak. Gejala dari stroke tiba – tiba muncul dan sering lebih dari satu gejala
pada waktu yang bersamaan, seperti :
• Tiba tiba kebas atau terjadi
kelemahan pada wajah, lengan, kaki, khususnya pada salah satu bagian tubuh.
• Tiba – tiba menjadi bingung,
sulit berbicara, atau perkataan yang sulit dimengerti.
• Terjadi gangguan pada penglihatan
pada salah satu atau kedua belah mata.
• Tiba – tiba menjadi sulit
berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau kordinasi.
• Tiba – tiba terjadi sakit kepala
yang hebat tanpa diketahui penyebabnya.
Faktor risiko yang paling penting
untuk terjadinya stroke adalah hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan
perokok. Termasuk pengkonsumsi alkohol, tinggi kadar kolesterol, penggunaan
obat terlarang, genetik, khususnya gangguan pembuluh darah. Stroke dapat
terjadi pada semua golongan usia namun tiga perempat serangan stroke terjadi
pada orang – orang dengan usia 65 tahun keatas. Menurut data statistik stroke
terbanyak dijumpai pada usia diatas 55 tahun, walupaun dapat terjadi pada semua
golongan usia. Insidens stroke karena perdarahan lebih sering terjadi pada usia
40 – 60 tahun sedangkan akibat infark
(emboli trombus) lebih sering
dijumpai pada usia 60 – 90 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan Ecktstrorn
dan kawan - kawan, juga penelitian yang dilakukan oleh Suharso, insiden menurut
jenis kelamin tidak ada perbedaan bermakna antara pria dan wanita.
2.3
DEPRESI PASCA STROKE
Depresi yang
terjadi setelah stroke disebut juga sebagai depresi pasca stroke. Hal ini
merupakan konsekuensi yang sering terjadi, dan mempunyai akibat yang negatif
pada masa penyembuhan dari fungsi motorik dan kognitif. Prevalensi terjadinya
depresi pasca stroke berkisar antara 5% hingga 63% pada beberapa penelitian cross sectional, dimana hal ini sering
terjadi 3 hingga 6 bulan setelah stroke.7,18 Prevalensi depresi dapat menurun
sampai 16% pada 12 bulan, 19% pada 2 tahun, dan meningkat sampai 29% pada 3 tahun.
Menurut Masdeu dan Solomon, penderita stroke
cenderung mudah menderita gangguan jiwa karena adanya perubahan yang tiba –
tiba terhadap seseorang akibat ketidakmampuannya untuk menggunakan anggota
badan mereka, adanya ketidakmampuan mereka berkomunikasi, mudah menyebabkan
timbulnya gangguan penyesuaian. Sedangkan menurut Horvath dan kawan - kawan, gejala psikiatri yang paling sering
dijumpai pada penyakit pembuluh darah otak adalah gejala depresi. Dari 600.000
pria dan wanita Amerika mengalami stroke yang pertama atau berulang setiap
tahunnya, diperkirakan 10-27% mengalami depresi berat, dan 15-40% mengalami
beberapa gejala – gejala depresi. Menurut penelitian yang dilakukan Kaplan dan kawan - kawan, perubahan
psikologi yang terjadi mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak.4 Lokasi
yang sering dihubungkan dengan simtom depresi adalah lesi pada lobus frontalis,
lobus temporalis, dan bangsal ganglia
terutama nukleus kaudatus. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa depresi lebih sering dijumpai pada lesi stroke di hemisfer kiri.
Mayer
mengatakan bahwa ada hubungan antara kelainan emosi dengan lokasi kerusakan
otak pada penderita stroke. Babinski
juga menyatakan bahwa pasien stroke dengan kerusakan hemisfer kanan sering
menampakkan gejala – gejala eforia dan sikap tidak peduli. Selain itu, Bleuer
mengatakan bahwa terdapat melankolia selama beberapa bulan bahkan lebih lama
pada pasien pasca stroke. Robinson menyatakan bahwa lesi pada left anterior cerebral lebih signifikan
untuk terjadinya depresi daripada lesi
left posterior. Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian systemic review
yang dinyatakan oleh Carson dan kawan - kawan, dimana mereka menemukan dari 34
kelompok penelitian yang dilakukan, lokasi lesi
tidak selalu berhubungan dengan depresi. Penelitian tentang hubungan antara
stroke dan penyakit psikiatri berfokus pada depresi yang merupakan efek dari
stroke, yang menyebabkan munculnya insiden depresi pasca stroke yang berkisar
20 - 50% setelah 1 bulan hingga 1 tahun setelah kejadian stroke. Meta
analisis dari faktor risiko timbulnya depresi setelah stroke diidentifikasi
mempunyai riwayat depresi pada masa dahulu, riwayat penyakit psikiatri, disfasia, gangguan fungsional, hidup
sendiri, dan social isolation
merupakan prediksi terpenting munculnya depresi. Lesi pada sisi kiri, khususnya
lesi pada lobus frontal kiri mempunyai frekuensi yang lebih besar sebagai
faktor risiko munculnya depresi pasca stroke. Pada suatu analisis dari 48
penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti - bukti
antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya depresi. Bentuk dan perjalanan
penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas, tetapi tidak
sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi
kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana
atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca
stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal /
neurotransmiter, dan psikologis.
Munculnya atropi
kortikal dan pembesaran dari ventrikel
juga merupakan faktor risiko penting terjadinya depresi pasca stroke.
Starkstein dan teman – teman melakukan penelitian terhadap atropi subkortikal
pada otak melalui CT scan yang terjadi setelah stroke. Pasien yang mengalami
depresi pasca stroke secara signifikan mengalami atropi yang besar dibandingkan
pasien stroke yang tidak mengalami depresi. Sebagai tambahan, lesi subkortikal
yang kecil pada hemisfer kiri lebih sering berhubungan dengan frekuensi yang tinggi
terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan..
Robinson
mengatakan bahwa penderita stroke yang pada saat serangan akut tidak
menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan ulang yang dilakukan 6 bulan
kemudian dijumpai sekitar 30%-nya memperlihatkan gejala depresi. Sementara
setengah dari penderita yang mengalami depresi dalam waktu 2-3 bulan setelah
terjadinya serangan stroke akan tetap menunjukkan tanda-tanda depresi selama
kurang lebih 1 tahun. Sedangkan depresi yang terjadi segera yaitu dalam
beberapa hari setelah stroke, acap kali berhubungan dengan remisi spontan.
Selain depresi, ansietas juga sering terjadi mengikuti serangan stroke dan
prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi ini meningkat menjadi lebih
tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat bersama-sama dengan depresi
2.4 Kelainan/gangguan Otak
Meta analisis
dari faktor risiko timbulnya depresi setelah stroke diidentifikasi mempunyai
riwayat depresi pada masa dahulu, riwayat penyakit psikiatri, disfasia,
gangguan fungsional, hidup sendiri, dan social
isolation merupakan prediksi terpenting munculnya depresi. Lesi pada sisi
kiri, khususnya lesi pada lobus frontal kiri mempunyai frekuensi yang lebih
besar sebagai faktor risiko munculnya depresi pasca stroke. Pada suatu analisis
dari 48 penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti
- bukti antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya depresi. Bentuk dan
perjalanan penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas, tetapi
tidak sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi
kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana
atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca
stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis.
Munculnya atropi kortikal dan pembesaran dari ventrikel juga merupakan faktor risiko
penting terjadinya depresi pasca stroke. Starkstein
dan teman – teman melakukan penelitian terhadap atropi subkortikal pada otak melalui CT scan yang terjadi setelah
stroke. Pasien yang mengalami depresi pasca stroke secara signifikan mengalami
atropi yang besar dibandingkan pasien stroke yang tidak mengalami depresi.
Sebagai tambahan, lesi subkortikal
yang kecil pada hemisfer kiri lebih sering berhubungan dengan frekuensi yang
tinggi terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan.
2.5
Beck Depression Inventory (BDI)
Beck Depression
Inventory (BDI) merupakan suatu skala yang dapat digunakan sebagai alat
skreening pada pasien depresi yang timbul akibat stroke. BDI terdiri dari 21
pertanyaan yang sering digunakan pada penelitian depresi pasca stroke. BDI
mempunyai cutoff point optimal dengan nilai 10, sensitivitas 80.0, dan
spesifisitas 61.4.
Pasien dengan
depresi pasca stroke lebih lambat penyembuhan atau perbaikan fungsi fisik
maupun kognitifnya dibandingkan dengan pasien stroke tanpa depresi. Juga 3 – 4
kali lebih cepat berakibat fatal dalam kurun waktu 10 tahun setelah mengalami
stroke. Stroke merupakan suatu stressor psikososial yang berat bagi penderita
maupun pasangannya, yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik
2.6
Kerangka Konsep
Depresi
pasca stroke
|
Pasien stroke :
-
Umur penderita
-
Jenis kelamin
-
Tingkat pendidikan
-
Pekerjaan
-
Status perkawinan
-
Lokasi lesi
|
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada umumnya
seseorang yang menderita stroke akan mengalami gangguan neurologis
pasca-stroke. Hal ini dikarenakan karena adanya kelainan pada otak (serebral)
yang mengalami kerusakan akibat iskemia pada daerah tersebut, sehingga dapat
mengakibatkan Di antara faktor-faktor yang berperan terhadap kejadian dan
beratnya depresi pasca-stroke adalah lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat
depresi di dalam keluarga, dan kondisi kehidupan sosial pra-stroke.
Penderita-penderita stroke yang mengalami depresi berat acapkali kurang
responsif terhadap upaya rehabilitasi, bersifat mudah marah, dan menunjukkan
perubahan perilaku atau kepribadian. Hal ini telah diungkapkan dan dibenarkan
bahwa ada hubungan nya antara depresi dengan kelainan otak pada penderita pasca
stroke melalui adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
beberapa peneliti yaitu :
Menurut Masdeu dan Solomon, penderita stroke
cenderung mudah menderita gangguan jiwa karena adanya perubahan yang tiba –
tiba terhadap seseorang akibat ketidakmampuannya untuk menggunakan anggota
badan mereka, adanya ketidakmampuan mereka berkomunikasi, mudah menyebabkan
timbulnya gangguan penyesuaian. Sedangkan menurut Horvath dan kawan - kawan, gejala psikiatri yang paling sering
dijumpai pada penyakit pembuluh darah otak adalah gejala depresi. Dari 600.000
pria dan wanita Amerika mengalami stroke yang pertama atau berulang setiap
tahunnya, diperkirakan 10-27% mengalami depresi berat, dan 15-40% mengalami
beberapa gejala – gejala depresi. Menurut penelitian yang dilakukan Kaplan dan kawan - kawan, perubahan
psikologi yang terjadi mempunyai kaitan dengan lokasi lesi di otak.4 Lokasi
yang sering dihubungkan dengan simtom depresi adalah lesi pada lobus frontalis,
lobus temporalis, dan bangsal ganglia
terutama nukleus kaudatus. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa depresi lebih sering dijumpai pada lesi stroke di hemisfer kiri.
Mayer
mengatakan bahwa ada hubungan antara kelainan emosi dengan lokasi kerusakan
otak pada penderita stroke. Babinski
juga menyatakan bahwa pasien stroke dengan kerusakan hemisfer kanan sering
menampakkan gejala – gejala eforia dan sikap tidak peduli. Selain itu, Bleuer
mengatakan bahwa terdapat melankolia selama beberapa bulan bahkan lebih lama
pada pasien pasca stroke. Robinson menyatakan bahwa lesi pada left anterior cerebral lebih signifikan
untuk terjadinya depresi daripada lesi
left posterior. Tetapi hal ini berbeda dengan penelitian systemic review
yang dinyatakan oleh Carson dan kawan - kawan, dimana mereka menemukan dari 34
kelompok penelitian yang dilakukan, lokasi lesi
tidak selalu berhubungan dengan depresi. Penelitian tentang hubungan antara
stroke dan penyakit psikiatri berfokus pada depresi yang merupakan efek dari
stroke, yang menyebabkan munculnya insiden depresi pasca stroke yang berkisar
20 - 50% setelah 1 bulan hingga 1 tahun setelah kejadian stroke. Meta
analisis dari faktor risiko timbulnya depresi setelah stroke diidentifikasi
mempunyai riwayat depresi pada masa dahulu, riwayat penyakit psikiatri, disfasia, gangguan fungsional, hidup
sendiri, dan social isolation
merupakan prediksi terpenting munculnya depresi. Lesi pada sisi kiri, khususnya
lesi pada lobus frontal kiri mempunyai frekuensi yang lebih besar sebagai
faktor risiko munculnya depresi pasca stroke. Pada suatu analisis dari 48
penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga, tidak ada bukti - bukti
antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya depresi. Bentuk dan perjalanan
penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih belum jelas, tetapi tidak
sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik ataupun hendaya fungsi
kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca stroke ini tidak sederhana
atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca
stroke antara lain adalah pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal /
neurotransmiter, dan psikologis.
Munculnya atropi
kortikal dan pembesaran dari ventrikel
juga merupakan faktor risiko penting terjadinya depresi pasca stroke.
Starkstein dan teman – teman melakukan penelitian terhadap atropi subkortikal
pada otak melalui CT scan yang terjadi setelah stroke. Pasien yang mengalami
depresi pasca stroke secara signifikan mengalami atropi yang besar dibandingkan
pasien stroke yang tidak mengalami depresi. Sebagai tambahan, lesi subkortikal
yang kecil pada hemisfer kiri lebih sering berhubungan dengan frekuensi yang tinggi
terjadinya depresi dibandingkan lesi pada hemisfer kanan.
Robinson
mengatakan bahwa penderita stroke yang pada saat serangan akut tidak
menunjukkan tanda-tanda depresi, pada pemeriksaan ulang yang dilakukan 6 bulan
kemudian dijumpai sekitar 30%-nya memperlihatkan gejala depresi. Sementara
setengah dari penderita yang mengalami depresi dalam waktu 2-3 bulan setelah
terjadinya serangan stroke akan tetap menunjukkan tanda-tanda depresi selama
kurang lebih 1 tahun. Sedangkan depresi yang terjadi segera yaitu dalam
beberapa hari setelah stroke, acap kali berhubungan dengan remisi spontan.
Selain depresi, ansietas juga sering terjadi mengikuti serangan stroke dan
prevalensinya berkisar antara 6-13%. Prevalensi ini meningkat menjadi lebih
tinggi yaitu sekitar 28% bilamana ansietas terdapat bersama-sama dengan depresi
Menurut
penulis, seseorang penderita stroke sangatlah cenderung
terkena gangguan jiwa , hal tersebut karena perubahan secara tiba-tiba baik
dari segi fisiologis,komunikasi verbal,neurologis,dll. Karena ketidakmampuan
yang mereka rasakan tersebut yang dapat memperburuk kondisi kejiwaan, sebagai
akibat adanya kelainan/gangguan pada serebral pasien stroke . Yakni beberapa
faktor yang dianggap sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah
pengaruh gangguan anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan
psikologis .Dimana pernyataan ini sesuai yang telah di buktikan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya.
Akan tetapi,pada
suatu analisis dari 48 penelitian dengan data yang adekuat, bagaimanapun juga,
tidak ada bukti - bukti antara lokasi lesi dengan kemungkinan terjadinya
depresi. Bentuk dan perjalanan penyakit depresi pada pasien pasca stroke masih
belum jelas, tetapi tidak sekedar merupakan reaksi dari stres psikis, fisik
ataupun hendaya fungsi kognitif saja. Penyebab depresi pada keadaan pasca
stroke ini tidak sederhana atau multi faktorial. Beberapa faktor yang dianggap
sebagai kausa depresi pasca stroke antara lain adalah pengaruh gangguan
anatomik, gangguan neurohormonal / neurotransmiter, dan psikologis
3.2 Saran
Beberapa peneliti-peneliti sebelumnya
telah mengungkapkan dan membuktikan bahwa ada hubungan antara depresi dengan
kelainan/gangguan otak pada penderita pasca stroke meskipun keadaan pasca
stroke adalah tidak multi-factorial. Kritik
dan saran penulis harapkan untuk penyempurnaan karya tulis ini. Mohon maaf bila
ada kesalahan baik dari penulisan dan kata-kata. Semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.
.
DAFTAR PUSTAKA
Penyakit
psikologi popular :hal :